A.
PENGERTIAN
Kali ini kita akan membahas
tentang pajak, namun kita harus mengerti terlebih dahulu apa itu pengertian
Pajak. Pajak adalah iuran wajib yang harus dibayar oleh seorang wajib pajak
kepada Negara berdasarkan Undang – Undang tanpa mendapat imbalan atau balas
jasa secara langsung. Tapi, kita tidak akan membahas tentang materi pajak, kita
akan bahas permasalahan pajak yang ada di Indonesia.
B.
PERMASALAHAN
Meskipun kita anggap semua hal tidak luput dari mesalah, tapi masalah pajak adalah masalah luar biasa, mungkin saya terlalu 'lebay' menggambarkannya tapi memang begitu adanya.
Hanya butuh satu contoh saja yaitu korupsi. Memang di Indonesia banyak sekali kasus korupsi, namun mungkin kasus korupsi pajak yang sangat memberatkan negara dan rakyatpun terbebani. Gimana engga ? uang rakyat dimakan sendiri oleh tikus-tikus yang mungkin masih berkeliaran tanpa pengetahuan kucing.
Selain itu,permasalahan
pajak adalah dari keseluruhan jumlah populasi Indonesia, baru 25 persen
individu yang membayar pajaknya kepada negara. Ini pun menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan pembangunan belum terlaksana dengan baik.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany mengatakan, banyak pengusaha yang merasa sudah membayar pajak tetapi mengeluhkan fasilitas dan infrastruktur yang minim. Hal ini menurutnya karena masyarakat yang bayar pajak baru sedikit, baik pengusaha maupun individu.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany mengatakan, banyak pengusaha yang merasa sudah membayar pajak tetapi mengeluhkan fasilitas dan infrastruktur yang minim. Hal ini menurutnya karena masyarakat yang bayar pajak baru sedikit, baik pengusaha maupun individu.
Fuad Rahmany |
"Pengusaha
merasa bayar pajak gede tapi sarananya enggak ada, sehingga mereka jadi
komplain. Ini masalah utama. Intinya mudah, karena yang baru bayar pajak baru
sedikit, baik pengusaha maupun individu. Individu lebih parah, baru 25 persen
atau setara 40 juta orang," kata Fuad dalam seminar nasional perpajakan,
"Penguatan Politik Perpajakan untuk Mendukung Daya Saing Nasional",
Kamis (21/11/2013).
Fuad mengatakan, apabila 40 juta populasi yang belum membayar pajak tersebut membayarkan pajaknya, ia yakin infrastruktur dapat terbangun. Selain itu, permasalahan yang terkait infrastruktur, contohnya jalan raya, jalan tol, dan listrik pun diyakininya dapat diatasi.
"Ekonomi kita tidak akan bisa meningkat daya saingnya kalau infrastrukturnya tidak ada. Kalau infrastruktur kita jeblok dan pembangunannya ketinggalan itu karena uangnya kurang. Kalau pajaknya, uangnya kurang, pembangunan dan segala kepentingan ekonomi nasional tidak terlaksana juga," ujar Fuad.
Fuad menyebut beberapa permasalahan utama perpajakan di Tanah Air. Pertama, belum tergalinya wajib pajak orang pribadi (WP OP). Selain itu, peneriman pajak terkonsentrasi hanya pada sektor formal dan sektor kegiatan ekonomi yang berorientasi pasar luar negeri.
Masalah lainnya adalah relatif kecilnya DJP terhadap perekonomian nasional dan wilayah Indonesia. "Pajak itu masalahnya keadilan. Kalau sebagian orang Indonesia sudah bayar pajak yang lainnya belum itu ibaratnya penumpang gratis. Mereka sudah menikmati subsidi BBM, tetapi enggak ikut menyumbang. Ini yang bikin kita jadi bangsa kerdil, punya negara tapi duitnya kecil karena urunannya enggak ada. Ini yang bikin pengusaha komplain karena mereka sudah bayar pajak tapi fasilitasnya masih kurang," katanya.
Fuad mengatakan, apabila 40 juta populasi yang belum membayar pajak tersebut membayarkan pajaknya, ia yakin infrastruktur dapat terbangun. Selain itu, permasalahan yang terkait infrastruktur, contohnya jalan raya, jalan tol, dan listrik pun diyakininya dapat diatasi.
"Ekonomi kita tidak akan bisa meningkat daya saingnya kalau infrastrukturnya tidak ada. Kalau infrastruktur kita jeblok dan pembangunannya ketinggalan itu karena uangnya kurang. Kalau pajaknya, uangnya kurang, pembangunan dan segala kepentingan ekonomi nasional tidak terlaksana juga," ujar Fuad.
Fuad menyebut beberapa permasalahan utama perpajakan di Tanah Air. Pertama, belum tergalinya wajib pajak orang pribadi (WP OP). Selain itu, peneriman pajak terkonsentrasi hanya pada sektor formal dan sektor kegiatan ekonomi yang berorientasi pasar luar negeri.
Masalah lainnya adalah relatif kecilnya DJP terhadap perekonomian nasional dan wilayah Indonesia. "Pajak itu masalahnya keadilan. Kalau sebagian orang Indonesia sudah bayar pajak yang lainnya belum itu ibaratnya penumpang gratis. Mereka sudah menikmati subsidi BBM, tetapi enggak ikut menyumbang. Ini yang bikin kita jadi bangsa kerdil, punya negara tapi duitnya kecil karena urunannya enggak ada. Ini yang bikin pengusaha komplain karena mereka sudah bayar pajak tapi fasilitasnya masih kurang," katanya.
Selain pada
wajib pajak, permasalahan pun datang dari mantan Direktur Jenderal Pajak,
apalagi kalo bukan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan
mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus pajak.
Hadi Sopoernomo |
Pria yang baru
pensiun sebagai Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu diduga
menyelahgunakan wewenangnya selaku Dirjen Pajak saat pengurusan Wajib Pajak PT
Bank Central Asia Tbk Tahun 1999 di Ditjen Pajak pada 2003-2004.
"Dari
hasil ekspose (gelar perkara) yang dilakukan Satgas Lidik dan seluruh pimpinan
KPK, bersepakat menetapkan saudara HP (Hadi Poernomo,-red) selaku Direktur
Jenderal Pajak Republik Indonesia periode 2002-2004 dan kawan-kawan sebagai
tersangka sebagaimana ketentuan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHPidana," kata Ketua KPK, Abraham Samad, dalam jumpa pers di kantor KPK,
Jakarta, Senin (21/4/2014).
Abraham menceritakan kronologi kasus
yang menjerat Hadi Poernomo itu. Mulanya, pada 17 Juli 2003, PT BCA Tbk
mengajukan surat keberatan transaksi non-performance loan (NPL) atau kredit
macet sebesar Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPH Ditjen Pajak. Bank BCA
keberatan dengan nilai pajak yang harus dibayar karena nilai kredit macet
hitungan mereka adalah sebesar Rp 5,7 triliun.
Selanjutnya, Direktur PPH memproses,
mengkaji dan mendalami keberatan pajak yang diajukan pihak Bank BCA itu. Dan
dari pendalaman selama sekitar setahun atau pada 13 Maret 2004, Direktur PPH
mengeluarkan hasil risalah beserta kesimpulan, bahwa keberatan pajak pihak Bank
BCA itu ditolak.
Dan Bank BCA diwajibkan memenuhi
pembayaran pajak Tahun 1999 dengan batas waktu 18 Juli 2003.
Namun, sehari sebelum batas jatuh
tempo pembayaran pajak Bank BCA itu, rupanya Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak
memerintahkan Direktur PPH melalui nota dinas agar mengubah kesimpulan
keberatan Bank BCA menjadi 'diterima' seluruhnya.
"Di situlah peran Dirjen Pajak
saudara PH," kata Abraham.
Selanjutnya, tanpa memberikan waktu
untuk Direktur PPH memberikan tanggapan yang berbeda atas kesimpulan keberatan
diterima itu, Hadi Poernomo justru menerbitkan surat ketepan pajak nihil (SKPN)
atas keberatan NPL Bank BCA pada 12 Juli 2004.
"Sehingga tidak ada waktu bagi
Direktur PPH untuk memberikan tanggapan. Padahal kesimpulan Dirjen Pajak
saudara PH itu berbeda dengan kesimpulan Direktur PPH," ujar Abraham.
Selanjutnya, Direktur PPH mengirimkan
kembali surat pengatar risalah keberatan wajib pajak Bank BCA dan nota dinas ke
Hadi Poernomo.
"Saudara HP selaku Dirjen Pajak
telah mengabaikan adanya fakta bahwa materi keberatan yang sama telah diajukan
oleh bank lain. Jadi, ada bank lain yang punya permasalahan yang sama dan sudah
ditolak, tapi dalam kasus Bank BCA, keberatannya diterima. Di sinilah duduk
persoalannya," tegas Abraham.
"Oleh karena itu, KPK menemukan
fakta-fakta dan bukti-bukti yang akurat. Berdasarkan itulah KPK mengadakan eksposes
(gelar perkara)," imbuhnya.
Abraham menyatakan, kerugian negara
akibat korupsi penyalahgunaan wewenang yang diduga dilakukan Hadi Poernomo itu
diperkirakan mencapai Rp 375 miliar. Sebab, seharusnya Bank BCA seharusnya
membayar nilai pajak ke negara (Ditjen Pajak) tersebut jika pengajuan keberatan
Bank BCA ditolak sebagaimana hasil kajian Direktur PPH.
"Berapa kerugian negaranya adalah
yang tidak dibayarkan, atau yang tidak jadi diterima kurang oleh negara lebih
Rp 375 miliar," ujarnya.
Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto
menambahkan, pengajuan keberatan atas kewajiban pajak 1999 itu baru dilakukan
Bank BCA ke Ditjen Pajak pada 2003.
Dan Hadi Poernomor selaku Dirjen Pajak
mengeluarkan keputusan menerima seluruh keberatan pajak Bank BCA yang bertolak belakang
dengan hasil kajian Direktur PPH.
"Padahal, keputusan soal itu
harus berdasarkan pertimbangan yang teliti dan cermat. Dan itu sebagaimana
Surat Edaran Dirjen Pajak sendiri," sindir Bambang.
~Mohon
maaf jika ada kesalahan kata pada artikel di atas.
Mohon maaf juga untuk artikel diatas cukup berantakan karena sulit
disesuaikan antara saat saya menulis dengan tampilan di blog ini. Terima
Kasih~